26 December 2015

Menikah (Prolog)


Menikah.... biasanya dari kecil para anak perempuan sudah membayangkan pernikahan impiannya, karena di hari yang katanya spesial itu mereka akan memakai gaun bak puteri raja. Sedangkan aku kecil berpikir ah nikah gimana nanti aja mau jadi wanita karir aja. Dulu aku berpikir jadi wanita karir yang kerja kantoran itu keren, haha dasar bocah. Ada sedikit cerita, saat itu sepupuku Teh Wulan menikah di rumah. Semua saudara jadi berkumpul di rumah Ua, ketika ijab kabul akan diucapkan semua heboh ingin melihat sampai sepupuku Mila yang umurnya satu tahun lebih muda dariku begitu semangat ingin melihat. Sungguh saat itu Dian kecil kebingungan, "emang apa serunya acara ijab kabul sih?" karena yang hanya terlintas di pikirannya bahwa ada acara kawinan keluarga itu bisa makan banyak dan bisa kumpul dengan saudara hoho.. (^o^")>. Hingga akhirnya sepupuku Mila itu menikah lebih dulu dariku.

Memang bukan masalah besar toh hanya beda setahun dengannya, lagipula usia bukan alasan utama kita menikah melainkan kesiapan kita. Sudah terlihat dari kecil Mila antusias sekali dengan pernikahan menyaksikan sakralnya ijab kabul makanya dia duluan yang nikah :D

Sepertinya diriku memang telat puber,
baru tertarik dengan hal hal yang berwangikan pernikahan beberapa tahun yang lalu. Senang melihat wajah-wajah cantik sang pengantin wanita, bunga-bunga bertebaran dimana mana, desain baju, dekor ruangan (tetep ya yang diliat desain). Namun,  itu semua hanya seprintilan yang menjadi pemanis dalam acara pernikahan. Esensi pernikahan sendiri maknanya lebih dari itu.

Pernikahan adalah suatu perjanjian yang kokoh dan suci, mitsaqan ghalidza. Islam menganjurkan untuk menikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan (sumber: konsep Islam tentang pernikahan). Dan diriku berada di ambang jalan yang terjerumus tersebut.

Aku telah menjalin hubungan (pacaran) yang cukup bahkan sangat lama dengannya, teman kuliahku. Kami tahu ini adalah perbuatan yang salah, pacaran tidak ada dalam Islam ditambah dengan lamanya hubungan kami pasti godaan zina akan selalu membayangi. Mungkin orang lain, teman-teman kami melihatnya wah senang ya pasangan yang awet, adem ayem selalu sama-sama. Namun justru hal itu mungkin jadi bumerang, hubungan kami selalu baik-baik saja tak ada masalah besar yang jadi penghalang sehingga membuat kami terlena untuk terus menabung dosa. Pacaran bertahun-tahun malah buang-buang waktu dan memberi beban pikiran padaku.

Kami selalu diskusi dan merenung tentang hal ini dan salah satu jalan keluarnya adalah menikah. Mengenalnya bertahun-tahun membuat aku yakin bahwa dia pria yang tepat, diapun merasa hal yang sama. Lalu tunggu apalagi toh kami berdua sudah mempunyai penghasilan sendiri. Saat itu aku selalu menggebu untuk mengajaknya menikah dan jawaban dia, "Akupun ingin menikahimu tapi saat ini ada adik yang menjadi tanggung jawabku.".  Dia telah menjadi anak yatim sejak SD, setelah lulus kuliah dan bekerja dia yang memberi nafkah untuk Ibu dan adiknya. Saat itu dia tengah membiayai kuliah adiknya, jika adiknya telah lulus baru dia bisa menabung untuk dirinya sendiri. Menikah itu tentunya membutuhkan biaya bukan.

Sekarang pilihannya ada pada diriku, menunggunya menanggung beban beberapa tahun lagi atau menyudahi saja.

>>> bersambung ke part selanjutnya ya (>^)

No comments:

Post a Comment